BAB 7
Aku menggeletakkan tubuhku diatas
kasur putih didalam kamar hotel. Ya ampun, sungguh sejuk benget, nggak nyangka
deh. lebih sejuk dari perkiraanku. Lihat dinding kamar ini, seperti ada
gambaran salju-salju yang menghujani 2 kasur putih itu. Seperti benar-benar ada
dibawah salju. Apalagi AC-nya yang sudah dinyalain Inet. Tambah keren lah
pokoknya. Apalagi hotel yang kami tempati berada tepat didepan laut yang sangat
indah, diatas air yang luas itu, dihiasi lampu-lampu dan cahaya yang membuatku
terpesona dengan lama.
“ Ya ampuun, beda banget sama kamar
aku..” kata Inet yang juga ikut-ikutan menggolekkan tubuhnya disampingku. Aku
hanya tersenyum.
“ Kalau dibandingkan kamar kamu,
siapa saja pasti susah..” sahut Anggi tiba-tiba yang sedang mengambil piyama
dari koper yang dibawanya lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Inet langsung cemberut. “ yeh..
biasa aja ngomongnya..”
Ting-Tong, tiba-tiba suara dari luar
kamar kami terdengar. Suara itu makin lama-makin keras.
“ Aduh.. baru sampai udah ada
fans..” kata Inet santai.
Aku beranjak dari kasur putih itu lalu membuka
pintu. Terlihat seorang lelaki berwajah ceria sambil membawa sebuah bungkusan
makanan, yang pasti bukan cowok berambut coklat tadi.
Lelaki itu tersenyum padaku, aku hanya
mengangkat alis.
“ Selamat malam..” sapanya ramah sambil
menyodorkan tangannya kearahku.
“ Selamat malam,” balasku dengan senyum
dipaksakan tanpa membalas sodoran tangannya, maklum setelah berbaring diatas
kasur putih itu, maunya tidur aja.
Lelaki
itu menarik kembali uluran tangannya. “ Aku tetangga baru,” katanya lagi sambil
terus tersenyum.
Aku memutar bola mata. “ Nggak nanya!” jawabku
seadanya sampai lupa kalau lelaki ini gila, masa
ada tetangga di hotel.
Aku hanya mendesah, “ ada perlu apa?!?”
tanyaku.
“ Nggak ada sih?!?” tanya lelaki
itu.
Aku mengkerutkan dahi. “ oooh.. Yauda diam.. ku tutup ya!”
Lelaki itu langsung nyengir. “ ternyata kamu
cewek ganas juga ya?!? Belum pernah aku melihat cewek seperti kamu.. dan..
tampaknya kamu bukan orang Jepang..” ujar lelaki itu sok pasti.
Aku memutar bola mata. “ aduh.. sory ya, aku nggak
bisa basa-basi lama-lama, banyak fans yang menungguku..” celetukku bohong. Hahaha.. gila aja kalau ada fansku.
“ Oh.. ada fans ya, ya udah deh. ng.. eh.. ini
ada sedikit makanan..” seru lelaki itu.
“ Arigatou..” jawabku singkat.
“ Sama-sama, eh.. aku belum tahu namamu?!?”
tanya lelaki itu.
“ Lia.” Jawabku singkat.
Lelaki itu memutar bola matanya, “ Lia?!?
Kayak nama orang Indonesia?!? Sebenarnya kamu itu orang Jepang apa indonesia sih?!?”
tanyanya lagi.
Aduh.. kebanyakan ngomong nih anak, aku ini
ngantuk. “ aduh.. sory ya, aku banyak urusan, besok lagi, dah…” umpatku lalu
menutup pintu tanpa memberikan sepatah katapun untuk lelaki itu.
Saat aku menutup pintu, Inet dan Jesica yang
melihatku mengoceh dengan lelaki itu langsung mengedipkan mata.
“ Ada cowok baru ya, Rie?!?” tanya Inet sambil
tersenyum.
“ Ih.. cowok baru apaan?!?” protesku. “ orang
cuma temen kok” tambahku.
“ Temen apa temen?!?” cerocos Jesica dengan
penuh harap.
“ Udah ah, aku ngantuk ni…” sahutku dengan
wajah kusam.
***
“ Riery… Riery… bangun…” teriak Jesica tepat
disamping telingaku yang membuatku terkejut lalu membuka mata.
“ Apaan sih?!? Kalian ini.. ganggu tidur aku
aja deh..” kataku manja. Maklum, tadi lagi mimpi indah bersama Raiga.
“ GEMPA, dodol…” ujar Anggi.
Aku melotot. “ Gempa?!?”
“ Iya.. makanya, ayo.. kita harus cepat keluar,
ayo…” teriak Inet lalu berlari keluar lalu kami bertiga mengikutinya.
Sambil berlari ketakutan, aku melihat
sekelilingku, semua sudah sepi, tidak ada orang sama sekali. Guncangan gempa
ini makin lama, semakin bergetar yang langsung membuatku berlari sekuat tenaga.
Tapi.. saat aku hendak berlari turun ke lantai 4, tiba-tiba lantai 1 dan 2
langusng roboh yang semakin membuatku takut. Aku teringat dengan laut yang ada
didepan hotel kami, biasanya kalau gempanya dekat dengan laut, akan terjadi tsunami.
Tak terasa air mataku menetes.
Jesica menoleh padaku, lalu memelukku. “
tenang aja Rie, kita akan selamat, aku yakin.”
“ Gimana mau selamat, lantai 1 dan 2 sudah
roboh ka, aku.. takut..” kataku terbata-bata.
“ Riery, Jesica ayo cepat pegangan tangan,
kita akan melompat..” kata Anggi cepat.
“ Melompat?!?” kataku melotot.
“ Ini perintah dari bawah Rie, kita tak akan
bisa selamat kalau terus-terusan disini. Tadi ada bapak-bapak dari
bawah yang menyuruh kita melompat, setelah kita melompat dia akan menangkap
kita. Ayo.. cepat.” Kata Inet.
Aku segera memegang erat tangan Jesica dan
Jesica yang berada di sebelah kananku memegang erat tangan Anggi. Kami berlari
menuju jendela untuk segera melompat. Dari bawah terdengar aba-aba beberapa
polisi yang akan menyelamatkan kami.
“ Ayo cepat nak, lompat satu-persatu, kami akan
menangkapmu.” Teriak seorang polisi dari bawah. Tapi guncangan gempa ini terus
bergerak yang hampir membuat seluruh bangunan hotel ini roboh.
Saat Inet melompat, runtuh-runtuhan
gedung ini jatuh hampir menimpa tubuhku, Anggi dan Jesica. Runtuhan gendung ini
juga menutupi jendela yang akan kami gunakan untuk melompat.
“ Aaaaaa….” Teriak Anggi saat
genggaman tangannya terlepas dari tangan Inet. Dia menoleh pada kami berdua.
“
bagaimana ini.. kita nggak bisa keluar..” kata Anggi sambil menangis ketakutan.
Aku mencoba menyingkirkan benda yang
menutupi jendela itu, tapi tidak bisa.
“ Itu asbes hotel ini Rie, kita tak
akan bisa mengangkatnya.” Kata Anggi.
Aku menundukkan kepala. Kata-kata
Anggi memang benar, kalau cuma kami bertiga, takkan bisa mengangkatnya.
“ Jadi gimana?!? Bagaimana kalau
kita mati disini..” kata Jesica yang juga menangis.
“ Kita harus cari tempat keluar..”
kataku lalu berlari ke depan. “ ayo.. cepat, sebelum hotel ini runtuh..” kataku
sambil menghapus air mata lalu berlari yang juga diikuti oleh Anggi dan Jesica.
Saat kami berlari, tiba-tiba 2 cowok
yang tidak lain adalah lelaki yang tadi malam memberi makan itu bersama cowok
berambut coklat berlari menghampiri kami.
“ Lho…. ka.. kalian… yang tadi memanggil
kami?!?” tanya Anggi sambil menghapus air matanya.
“ Udahlah,
ayo cepat.. kita semua harus keluar dari sini.” Kata lelaki itu lalu menarik tangan
Anggi dan Jesica. “ ki, lo bawa si Riery.. cepat.. nggak usah pake
malu-malu..” kata lelaki itu lalu berlari sambil menarik tangan Anggi dan
Jesica.
Cowok berambut coklat itu menoleh
padaku. Aku hanya diam sambil menundukkan kepala. Tiba-tiba dia menyodorkan
tangannya. “ ayo cepat.. kita harus pergi.. kamu dengar kata Taiga, nggak usah
pake malu-malu..” lanjut cowok berambut coklat itu.
Mau tidak mau, aku memegang tangan
cowok berambut coklat itu. Dia menggenggam tanganku dengan erat lalu berlari.
Di tengah jalan, saat aku dan cowok
berambut coklat itu akan turun dan segera melompat, tiba-tiba runtuhan bangunan
hotel ini jatuh, dan..
“ Awas…” tiba-tiba cowok berambut
coklat itu menarik tanganku.
“ Aaaaaaaaa…..” teriakku. Aku dan cowok berambut
coklat itu jatuh tersungkur diantara beberapa tangga. Aku mencoba menutup mata,
aku tau.. sebentar lagi aku akan mati.
***
“ Hei.. bangun..”
Aku membuka mata. Kulihat cowok
berambut coklat itu menatapku dengan belas kasihan. Dia memegang pundakku dan mengelus-ngelusnya.
Aku mencoba untuk duduk.
“ Ng.. i.. ini.. dimana?!?” tanyaku
terbata-bata.
“ Kita masih didalam hotel, tadi aku
menyingkirkanmu dari runtuhan gedung hotel ini.. hampir saja mengenaimu.. tapi
aku berhasil mencegah.” Kata cowok berambut coklat itu sambil tersenyum.
Aku membalas senyumannya, lalu
menundukkan kepala, sampai teringat..
“ Anggi?!? Jesica?!? Mereka dimana??.”
Tanyaku sambil mencoba berdiri.
“ Dari tadi aku tidak melihat
mereka, soalnya dari tadi aku disini terus, ” kata cowok berambut coklat itu dengan PD.
Aku menoleh padanya. “ eh.. O'on .. cari juga dong mereka!” Teriakku lalu berjalan ke arah tumpuk-tumpukan gedung-gedung yang
sudah roboh. Aku mencoba mengangkat tumpuk-tumpukan itu. Aku sudah merasakan
firasat buruk. Jangan.. jangan sampai itu terjadi..
Tiba-tiba aku mendengar suara
rengekan seperti suara...
“ Jesica..” teriakku sambil mencari
arah suara itu.
“ Aku disini.. Riery..” kata Jesica
yang sudah tertindih runtuhan gedung hotel ini.
“ JESICA….” Teriakku lalu berlari
menghampiri Jesica. Cowok berambut coklat itu terkejut lalu membantuku
mengangkat tumpukkan yang menimpa Jesica. Aku mencobanya sekuat tenaga.
“ Jesicaaa…” kataku sambil menangis
“ Udah.. udah nggak usah.. itu nggak akan bisa lagi” kata Jesica lemah.
“ Nggak.. Kenapa?!?! Kenapa?!?”
kataku sambil terus menangis.
“ Uhuk…” tiba-tiba Jesica terbatuk
dan meng-
eluarkan
darah dari dalam mulutnya.
“ JESICA…” teriakku.
“ Udahlah Rie.. cepat pergi…”
kata Jesica yang makin lama makin melemas.
“ Pergi!? Aku nggak mau….” Teriakku. “ Jesica.. aku nggak mau kehilanganmu
untuk kedua kalinya…” kataku sambil terus menangis.
“ Jangan menangis Rieryyy.
Ayo cepat pergi” teriak Jesica.
Tiba-tiba, goyangan gedung semakin
kuat, cowok berambut coklat itu menoleh kepadaku.
“ Ayo.. cepat, kita harus pergi..
hotel ini mau hancur…” kata cowok berambut coklat kepadaku.
“ AKU NGGAK AKAN PERGI… AKU.. AKU..
AKU.. NGGAK AKAN MENINGGALKAN JESICA..” teriakku sambil terus mengeluarkan air
mata.
“ Eh... Gila,.. kau nggak mau mati kan???” tambah cowok berambut coklat itu dengan keras.
“ Mungkin dia bukan apa-apa buatmu, tapi
bagiku.. dia SAHABATku..” kataku.
SREK… SREK… suara runtuhan gedung
hotel ini mulai terdengar.
Tiba-tiba cowok berambut coklat itu
langsung menarik tanganku untuk segera keluar dari hotel ini.
“ NGGAK… JESICAAAAAAAAAAAAAA……….”
Teriakku.
BRUK…. BRUK…. Suara runtuhan gedung
ini pun tlah tiba. Runtuhan gedung hotel ini tepat mengenai kepala Jesica yang
sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa menangis melihatnya. Jesica… maafkan aku...
Saat kami tiba tepat didepan jendela
yang terbuka lebar, beberapa polisi yang melihat kami, lagsung menolongku dan
cowok berambut coklat itu.
“ Tunggulah nak, aku akan segera
datang…” kata salah satu seorang polisi yang kawatir akan keaadaan kami. Dia
mencoba naik ke atas untuk menyelamatkan kami. Polisi itu bergantung di tangga
yang terbuat dari tali, lalu menyodorkan tangannya.
“ Ayo.. satu-persatu, cepat pegang
erat tanganku..” kata polisi itu.
Cowok berambut coklat itu menoleh
padaku, lalu tersenyum. “ kau duluan saja..” katanya ramah.
Aku mengangguk, lalu memegang tangan
polisi itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar