Bab 8
Polisi itu menyelamatkanku dan cowok
berambut coklat itu. Saat aku sampai dibawah, aku melihat sekelilingku.
“ Inet sama Anggi mana?!? cowok itu?!?” kataku pelan sambil terus melihat kesana-kemari.
Tiba-tiba, 2 orang cewek langsung
menepuk bahuku dari belakang. Aku menoleh kebelakang,
“ Anggi… Inet… syukurlah kalian
selamat…” teriakku yang langsung memeluk mereka berdua, yang juga dibalas
pelukan hangat dari 2 sahabatku ini.
“ Seharusnya kami yang bilang begitu. Dari tadi kami khawatir banget dengan keaadaanmu, Rie. Tapi.. syukurlah,
kamu selamat.” Kata Inet sambil tersenyum.
Aku membalas senyumannya.
“ Oh.. iya, JESICA.. Jesica gimana?!?” kata Anggi dengan keras.
“ Kenapa kamu ninggalin jesica nggi?” tanyaku pada anggi.
“ Eh.. eh.. sory Rie, aku juga nggak tau,
dia melepaskan pegangannya dengan lelaki itu,” Jeda sejenak, sambil menunjukkan
lelaki yang berdiri di ujung bersama cowok berambut coklat. “ terus dia mendorong
kami untuk keluar dari tempat ini, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi..” jelas
Anggi panjang lebar. “ jadi.. bagaimana keaadaannya?!?” tambah Anggi.
“ Tidak bisa.. dia sudah
meninggal..” kataku sambil menundukkan kepala.
Inet dan Anggi terdiam. Setelah itu
kami terdiam lama, merenungkan wajah Jesica dalam khayalan kami, padahal baru
saja bertemu..
Tiba-tiba lelaki dan cowok berambut
coklat itu datang berlari menghampiri kami bertiga. Dia berlari sambil membawa
keringat. Sepertinya ada terjadi sesuatu.
“ Kalian cepat lari… lihat didepan
kalian..” teriak lelaki itu.
Aku menoleh kedepan. Hah….?!?
“ Tsu.. tsunami…” teriakku lalu
berlari sekuat tenaga.
Gelombang air itu semakin lama
semakin membesar, menghanyutkan beberapa rumah dan mobil yang berserakan.
Aku berlari sambil menangis, hari
ini adalah takdir dari kehidupanku, seberapa cepat pun aku berlari, tak mungkin
aku bisa melampaui gelombang air yang sangat besar itu..
“ Aaaaaaaaaaa……” tiba-tiba teriakkan
Anggi membuatku menoleh ke belakang,
“ Anggi……..” teriakku, aku menoleh
pada gelombang air itu yang sebentar lagi juga akan menghanyutkan Anggi. Dia
jatuh, sepertinya sudah tidak berdaya karena jatuh dari gedung hotel itu. Anggi
mencoba berdiri, tapi tidak bisa, kakinya terkilir dan tak bisa bergerak.
Aku berlari menghampiri Anggi, lalu
menarik tangannya. Aku harus melindunginya, karena aku sudah berjanji dengan
Raka. Inet menoleh padaku. “ Riery, cepat.. kita harus lari.. kalau tidak.. kamu
bisa mati….” Teriak Inet.
“ Nggak.. aku nggak mau kehilangan
sahabatku untuk kedua kalinya…” kataku lalu memeluk Anggi. Kita akan mati
bersama-sama nggi, kataku dalam hati.
Tiba-tiba Inet menghampiriku. “ Riery.. aku juga…” kata Inet sambil mengeluarkan air mata. Kami memeluk Anggi
dengan hangat, badannya gemetaran dan kedinginan, sudah tak mampu berbuat
apa-apa lagi.
“ Hei.. kalian.. sedang apa kalian
disitu?!? Kalian gila ya?!?” teriak lelaki itu.
“ Udah.. kalian pergi aja duluan, nanti kami menyusul” kataku mencoba menyikirkan lelaki itu.
Lelaki terdiam, lalu berlari menjauh
dari kami. Aku mendesah..
Gelombang air itu, semakin lama,
semakin dekat dari kami bertiga. Di tempat ini hanya ada kami bertiga, semua
orang tlah berlari menjauh dari sini.
Aku
siap.. aku siap mati tuhan… kalau itu memang yang kau inginkan.. kataku
dalam hati. Aku mencoba menutup mata, gelombang air itu tlah bersentuhan dengan
kulit kami bertiga. Aku masih memeluk erat Anggi dan Inet, tapi gelombang air
itu membuatku, Inet dan Anggi terpisah karena hanyut, Anggi tlah dihanyutkan oleh
tsunami ini, menjauh dari hadapanku…
Aku meneteskan air mata, kenapa.. padahal aku sudah berada didalam
air laut ini.. kenapa aku tidak mati?!? Kenapa harus teman-temanku… aku mencoba
menutup mata agar bisa mati ditempat ini… aku mohon…
Tapi.. saat aku menutup mata,
tiba-tiba aku melihat sesosok 2 perempuan yang berdiri di depanku. Aku
memanggilnya, tapi mereka sama sekali tidak menoleh padaku, aku mencoba
memanggilnya sekali lagi, tapi sama saja. Dia tidak mendengarkanku..
Aku membuka mataku dan menoleh ke
arah kiri dan kanan. Ah.. aku masih
hidup.. tapi.. Anggi?!? Inet?!? Bagaimana mereka?!? Mereka tidak ada
disekelilingku…
Sekarang aku sedang terapung di atas
air. Ada apa ini?!? kenapa aku tidak tenggelam?!? Aku melihat ke atas, langit
sungguh cerah hari ini.. matahari bersinar terang, menyinari kulitku yang
berwarna sawo matang seperti ciri khas warga Indonesia. Tiba-tiba.. saat aku
melihat matahari itu, sebuah helikopter kecil lewat dan memanggilku.
Ah..
apa itu?!? Tanyaku dalam hati.
Seseorang yang tak kukenal turun
dengan tali sambil memanggilku. Dia seorang lelaki muda berambut gondrong,
pakaiannya seperti seorang polisi.
“ Hei.. apa kamu baik-baik aja?!?”
tanyanya padaku.
Aku hanya mengangguk pelan.
“ Ayo cepat, pegang tanganku, kami
bisa menolongmu..” teriaknya. Dia hampir dekat denganku.
Aku menangguk pelan lagi, lalu
memegang erat tangannya.
***
Aku duduk didalam helikopter kecil
itu. Sempit sekali, tapi syukurlah aku
selamat… terima kasih tuhan..
Aku menoleh ke beberapa polisi yang
tadi menolongku, dia memberikanku handuk kecil untuk mengeringkan pakaian ku
yang basah.
“ Kau pasti lelah dan capek..”
katanya lembut padaku.
Aku hanya tersenyum, lalu mengeringkan
pakaianku dengan handuk yang diberikannya. Saat aku mengeringkan rambutku, dia
berkata.
“ Sekarang coba katakan, kenapa kamu
bisa terhanyut di air itu?!?” tanyanya.
Aku mengangkat bahu, tidak mampu
mengatakan sesuatu.
Tiba-tiba seorang polisi yang sedang
bergantung di jendela helikopter ini berkata. “ Ree.. beri dia waktu untuk
bernafas..” sahutnya keras.
Polisi itu menoleh padanya dan
tersenyum, lalu menoleh padaku lagi. “ tidak usah hiraukan dia.. ng..
ngomong-ngomong, kau tadi sendiri?!? Tidak ada orangtuamu?!?” tanyannya pelan.
“ Ng.. aku pergi sama teman-temanku,
yang satu sudah tertimpa gedung hotel Habara, aku nggak tau dia sudah mati atau
belum, dan dua temanku lagi.. aku nggak tau
mereka dimana, kami berpisah saat tsunami datang” Jelasku
sambil mengeluarkan air mata. Aku takut..
Inet.. Anggi..
Polisi itu terdiam, tidak mampu
berkata apa-apa.
“ Kenapa diam?!?” tanyaku pelan
sambil menghapus air mata.
“ Ng.. nggak..” jeda sejenak. “ aku
tadi juga menemukan wanita sebaya denganmu, kurasa itu temanmu..”
lanjutnya.
Aku mengangkat alis. “ mana
dia?!?” tanyaku cepat.
“ Itu..” katanya sambil menunjukkan
seorang cewek sebaya denganku dengan diselimuti kain tebal yang tertidur
dibelakang tempat dudukku yang tidak lain adalah Inet.
“ INET..” teriakku terkejut.
Polisi itu memperingatiku untuk
diam. “ tenanglah.. dia sedang tertidur, sepertinya dia kelelahan,
ombak tsunami tadi begitu besar sampai bisa membuatnya seperti itu..” jelas
polisi itu panjang lebar.
“ Jadi.. dia masih hidup?!?”
tanyaku.
Polisi itu mengangguk. Aku menghela
nafas. Lalu berfikir, Anggi?!? Bagaimana
dengan Anggi?!?
Aku mengangkat alis lalu menoleh
pada polisi itu. Polisi itu melihatku dengan bingung. “ ada apa?!?” tanyanya
pelan.
“ Apakah anda.. menemukan seorang
cewek lain selain dia?!?” tanyaku cepat.
“ Hmm.. Tidak.. hanya dia dan kaulah yang
kutemukan saat ini.. mungkin besok atau nanti.. bisa ditemukan..” katanya
pelan.
Aku menundukkan kepala. Anggi..
***
Polisi itu menurunkanku di tempat
pengungsian bersama Inet yang masih tertidur. Tidak seperti biasanya, wajahnya
kusam dan tampak lelah, padahal setiap detik, setiap menit dan setiap jam,
wajahnya cerah dan bersemi walaupun dengan keadaan tertidur.
Aku sangat tidak menyangka akan
menjadi seperti ini, aku tidak mengharapkan ini. Aku hanya mengharapkan kalau
aku akan senang dan tenang saat di Jepang. Bertemu idolaku, oh.. iya… bagaimana sang Idolaku, Masashi
Kishimoto?!? Apakah dia baik-baik saja?!? Bagaimana dengan lanjutan komik
Naruto?!? Apakah masih terus berlanjut?!? Atau hanya cerita yang menggantung.
Tapi..
Jesica… Anggi… kalau aku tidak mengajak kalian kesini, pasti tidak akan terjadi
hal seperti ini. Padahal Jesica baru pindah ke Indonesia.
“ Ng.. lho.. Riery?!?” tiba-tiba Inet
terbangun dari kepulasan tidurnya. Wajahnya tampak terkejut melihatku menghapus
air mata.
“ Eh.. Inet?!? Kamu sudah
bangun?!?” tanyaku sambil tersenyum pelan.
“ Hah.. dari dulu luka segini sih.. nggak apa-apa itu..” kata Inet bersemangat. Aku tersenyum, dia tidak berubah.
“ Eh.. ngomong-ngomong kita ini
dimana?!?” tanya Inet sambil menoleh kekanan dan kekiri.
“ Kita dipengungsian.” Kataku pelan,
lalu menoleh padanya. “ sebentar.. aku mau jalan-jalan..” lanjutku.
“ Tunggu.. Oshita!! Aku ikut..”
teriak Inet lalu berjalan mengikutiku.
Saat kami berjalan, tak terasa kami
sudah berada dihadapan hotel Habara. Hotel itu hancur, tidak ada pun yang
tersisa, tapi.. hanya ada satu. Jesica..
Aku menoleh pada beberapa polisi
yang hendak memasuki hotel Habara itu. Guncangan bumi dan Tsunami ini memang
sudah tidak terasa kembali. Tapi.. kesedihan rakyat disini sangat terasa.
“ Maaf pak, bapak mau masuk ke dalam
hotel ini?!?” tanyaku pelan.
“ Ya..” jawab bapak itu singkat.
“ Ng.. begini pak, saya tadi
menginap di hotel ini. jadi.. tadi ada teman saya yang tertimpa bangunan di
dalam hotel ini, saya ingin melihatnya pak, bolehkah saya masuk?!?” jelasku
pada polisi itu.
“ E… To… baiklah!! Ayo.. silakan,
hotel ini sudah tidak berbahaya lagi..” kata pak polisi itu sambil tersenyum.
“ Terimakasih banyak pak..” kataku
sambil tersenyum senang.
Aku dan Inet masuk ke dalam hotel
ini. meja resepsionis ini pun sudah roboh, begitu juga dengan benda
disekelilingnya, semua sudah hancur.
Aku dan Inet menjadi sangat sulit
untuk masuk ke dalam hotel ini. beberapa saat, kami harus menyingkirkan
beberapa bangunan yang amat berat agar bisa memberikan kami jalan untuk melihat
keadaan Jesica.
Tiba-tiba seorang lelaki
memanggilku. “ Shirasawa….” Teriaknya. Aku membalik badan. Ternyata si lelaki
yang semalam memberikanku sedikit makanan. Dia berlari ke arahku dan Inet
dengan terengah-engah. Dengan wajah gelisah, dia menghampiriku.
“ Syukurlah kalian selamat.. aku
sangat khawatir dengan keadaanya kalian semua.. tapi… maaf.. temanmu yang satu
lagi… tlah..” kata lelaki itu pelan.
Aku menoleh padanya. “ aku belum tau
namamu..” lanjutku.
“ Taiga.. namaku Taiga…” jelasnya
padaku.
Aku menarik nafas, lalu
mengeluarkannya dari mulut.
“
tidak apa-apa Taiga.. aku tidak akan pernah menyalahkan semuanya denganmu..
karena itu bukan salahmu..” jelasku.
Taiga tersenyum lalu menghampiriku.
“ kamu mau mencarinya?!?”
Aku mengangguk. “ aku harus lakukan
itu, karena aku adalah temannya..” tambahku.
“ Aku akan membantumu.” Katanya
pelan.
Aku mengangkat satu persatu
bangunan-bangunan hotel yang sudah hancur ini, tapi.. Jesica sama sekali tak
tampak. Aku menoleh pada Inet dan Taiga yang juga sedang asyik mencari.
“ Kalian dapat?!?” tanyaku keras.
Mereka hanya menggeleng sambil
mengangkat bahu.
“
Belum..” sambung mereka hampir bersamaan. Aku mendesah panjang.
Sudah hampir 2 jam (yang menurutku
sudah hampir satu setengah tahun) aku mencari Jesica didalam bangunan hotel
yang sudah mulai roboh ini. Sampai akhirnya Inet berteriak.
“ Aku dapat..” teriaknya keras. Aku
mengangkat alis, lalu berlari menghampirinya.
“ Dimana?!?” tanyaku cepat. Inet
menunjukkan sebuah tangan yang dipenuhi luka-luka ditambah beberapa bangunan
menimpanya, yang terlihat hanyalah sebuah tangan dengan keaadaan lemas.
Aku melihat tangan itu dengan tubuh
gemetar. Apakah benar.. Jesica?!?
Taiga berjalan menghampiriku dan Inet,
dia mencoba mengangkat tumpukan bangunan yang menimpa Jesica. Setelah beberapa
menit, akhirnya tampak seorang perempuan berambut panjang sepinggang
terlungkup, yang tidak lain adalah Jesica.
Aku menghampiri Jesica, lalu
membalikkan tubuhnya. Jesica tampak menutup mata dengan beberapa darah keluar
dari mulutnya. Kulitnya dingin, seperti mayat. Bunyi detak jantungnya juga
sudah tidak ada lagi. Dia sudah…
Air mataku keluar dari mata merahku
yang dari tadi tak bisa berhenti menangis, air mataku bergelinang hampir
diseluruh wajahku. “ JESICAAAAAAAAAAAAAA……” teriakku.
Inet memelukku dengan hangat,
sepertinya dia juga sedih melihat Jesica tlah meninggal.
“ Sebaiknya dia segera kita bawa
keluar..” kata Taiga pelan.
Aku mengangguk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar