Most popular blog

Kamis, 08 Maret 2012

bab 8


Bab 8




            Polisi itu menyelamatkanku dan cowok berambut coklat itu. Saat aku sampai dibawah, aku melihat sekelilingku.
            “ Inet sama Anggi mana?!? cowok itu?!?” kataku pelan sambil terus melihat kesana-kemari.
            Tiba-tiba, 2 orang cewek langsung menepuk bahuku dari belakang. Aku menoleh kebelakang,
            “ Anggi… Inet… syukurlah kalian selamat…” teriakku yang langsung memeluk mereka berdua, yang juga dibalas pelukan hangat dari 2 sahabatku ini.
            “ Seharusnya kami yang bilang begitu. Dari tadi kami khawatir banget dengan keaadaanmu, Rie. Tapi.. syukurlah, kamu selamat.” Kata Inet sambil tersenyum.
            Aku membalas senyumannya.
            “ Oh.. iya, JESICA.. Jesica gimana?!?” kata Anggi dengan keras.
            “ Kenapa kamu ninggalin jesica nggi?” tanyaku pada anggi.
            “ Eh.. eh.. sory Rie, aku juga nggak tau, dia melepaskan pegangannya dengan lelaki itu,” Jeda sejenak, sambil menunjukkan lelaki yang berdiri di ujung bersama cowok berambut coklat. “ terus dia mendorong kami untuk keluar dari tempat ini, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi..” jelas Anggi panjang lebar. “ jadi.. bagaimana keaadaannya?!?” tambah Anggi.
            “ Tidak bisa.. dia sudah meninggal..” kataku sambil menundukkan kepala.
            Inet dan Anggi terdiam. Setelah itu kami terdiam lama, merenungkan wajah Jesica dalam khayalan kami, padahal baru saja bertemu..
            Tiba-tiba lelaki dan cowok berambut coklat itu datang berlari menghampiri kami bertiga. Dia berlari sambil membawa keringat. Sepertinya ada terjadi sesuatu.
            “ Kalian cepat lari… lihat didepan kalian..” teriak lelaki itu.
            Aku menoleh kedepan. Hah….?!?
            “ Tsu.. tsunami…” teriakku lalu berlari sekuat tenaga.
            Gelombang air itu semakin lama semakin membesar, menghanyutkan beberapa rumah dan mobil yang berserakan.
            Aku berlari sambil menangis, hari ini adalah takdir dari kehidupanku, seberapa cepat pun aku berlari, tak mungkin aku bisa melampaui gelombang air yang sangat besar itu..
            “ Aaaaaaaaaaa……” tiba-tiba teriakkan Anggi membuatku menoleh ke belakang,
            “ Anggi……..” teriakku, aku menoleh pada gelombang air itu yang sebentar lagi juga akan menghanyutkan Anggi. Dia jatuh, sepertinya sudah tidak berdaya karena jatuh dari gedung hotel itu. Anggi mencoba berdiri, tapi tidak bisa, kakinya terkilir dan tak bisa bergerak.
            Aku berlari menghampiri Anggi, lalu menarik tangannya. Aku harus melindunginya, karena aku sudah berjanji dengan Raka. Inet menoleh padaku. “ Riery, cepat.. kita harus lari.. kalau tidak.. kamu bisa mati….” Teriak Inet.
            “ Nggak.. aku nggak mau kehilangan sahabatku untuk kedua kalinya…” kataku lalu memeluk Anggi. Kita akan mati bersama-sama nggi, kataku dalam hati.
            Tiba-tiba Inet menghampiriku. “ Riery.. aku juga…” kata Inet sambil mengeluarkan air mata. Kami memeluk Anggi dengan hangat, badannya gemetaran dan kedinginan, sudah tak mampu berbuat apa-apa lagi.
            “ Hei.. kalian.. sedang apa kalian disitu?!? Kalian gila ya?!?” teriak lelaki itu.
            “ Udah.. kalian pergi aja duluan, nanti kami menyusul” kataku mencoba menyikirkan lelaki itu.
            Lelaki terdiam, lalu berlari menjauh dari kami. Aku mendesah..
            Gelombang air itu, semakin lama, semakin dekat dari kami bertiga. Di tempat ini hanya ada kami bertiga, semua orang tlah berlari menjauh dari sini.
            Aku siap.. aku siap mati tuhan… kalau itu memang yang kau inginkan.. kataku dalam hati. Aku mencoba menutup mata, gelombang air itu tlah bersentuhan dengan kulit kami bertiga. Aku masih memeluk erat Anggi dan Inet, tapi gelombang air itu membuatku, Inet dan Anggi terpisah karena hanyut, Anggi tlah dihanyutkan oleh tsunami ini, menjauh dari hadapanku…
            Aku meneteskan air mata, kenapa.. padahal aku sudah berada didalam air laut ini.. kenapa aku tidak mati?!? Kenapa harus teman-temanku… aku mencoba menutup mata agar bisa mati ditempat ini… aku mohon…
            Tapi.. saat aku menutup mata, tiba-tiba aku melihat sesosok 2 perempuan yang berdiri di depanku. Aku memanggilnya, tapi mereka sama sekali tidak menoleh padaku, aku mencoba memanggilnya sekali lagi, tapi sama saja. Dia tidak mendengarkanku..

***

            Aku membuka mataku dan menoleh ke arah kiri dan kanan. Ah.. aku masih hidup.. tapi.. Anggi?!? Inet?!? Bagaimana mereka?!? Mereka tidak ada disekelilingku…
            Sekarang aku sedang terapung di atas air. Ada apa ini?!? kenapa aku tidak tenggelam?!? Aku melihat ke atas, langit sungguh cerah hari ini.. matahari bersinar terang, menyinari kulitku yang berwarna sawo matang seperti ciri khas warga Indonesia. Tiba-tiba.. saat aku melihat matahari itu, sebuah helikopter kecil lewat dan memanggilku.
            Ah.. apa itu?!? Tanyaku dalam hati.
            Seseorang yang tak kukenal turun dengan tali sambil memanggilku. Dia seorang lelaki muda berambut gondrong, pakaiannya seperti seorang polisi.
            “ Hei.. apa kamu baik-baik aja?!?” tanyanya padaku.
            Aku hanya mengangguk pelan.
            “ Ayo cepat, pegang tanganku, kami bisa menolongmu..” teriaknya. Dia hampir dekat denganku.
            Aku menangguk pelan lagi, lalu memegang erat tangannya.

***

            Aku duduk didalam helikopter kecil itu. Sempit sekali, tapi syukurlah aku selamat… terima kasih tuhan..
            Aku menoleh ke beberapa polisi yang tadi menolongku, dia memberikanku handuk kecil untuk mengeringkan pakaian ku yang basah.
            “ Kau pasti lelah dan capek..” katanya lembut padaku.
            Aku hanya tersenyum, lalu mengeringkan pakaianku dengan handuk yang diberikannya. Saat aku mengeringkan rambutku, dia berkata.
            “ Sekarang coba katakan, kenapa kamu bisa terhanyut di air itu?!?” tanyanya.
            Aku mengangkat bahu, tidak mampu mengatakan sesuatu.
            Tiba-tiba seorang polisi yang sedang bergantung di jendela helikopter ini berkata. “ Ree.. beri dia waktu untuk bernafas..” sahutnya keras.
            Polisi itu menoleh padanya dan tersenyum, lalu menoleh padaku lagi. “ tidak usah hiraukan dia.. ng.. ngomong-ngomong, kau tadi sendiri?!? Tidak ada orangtuamu?!?” tanyannya pelan.
            “ Ng.. aku pergi sama teman-temanku, yang satu sudah tertimpa gedung hotel Habara, aku nggak tau dia sudah mati atau belum, dan dua temanku lagi.. aku nggak tau mereka dimana, kami berpisah saat tsunami datang” Jelasku sambil mengeluarkan air mata. Aku takut.. Inet.. Anggi..
            Polisi itu terdiam, tidak mampu berkata apa-apa.
            “ Kenapa diam?!?” tanyaku pelan sambil menghapus air mata.
            “ Ng.. nggak..” jeda sejenak. “ aku tadi juga menemukan wanita sebaya denganmu, kurasa itu temanmu..” lanjutnya.
            Aku mengangkat alis. “ mana dia?!?” tanyaku cepat.
            “ Itu..” katanya sambil menunjukkan seorang cewek sebaya denganku dengan diselimuti kain tebal yang tertidur dibelakang tempat dudukku yang tidak lain adalah Inet.
            “ INET..” teriakku terkejut.
            Polisi itu memperingatiku untuk diam. “ tenanglah.. dia sedang tertidur, sepertinya dia kelelahan, ombak tsunami tadi begitu besar sampai bisa membuatnya seperti itu..” jelas polisi itu panjang lebar.
            “ Jadi.. dia masih hidup?!?” tanyaku.
            Polisi itu mengangguk. Aku menghela nafas. Lalu berfikir, Anggi?!? Bagaimana dengan Anggi?!?
            Aku mengangkat alis lalu menoleh pada polisi itu. Polisi itu melihatku dengan bingung. “ ada apa?!?” tanyanya pelan.
            “ Apakah anda.. menemukan seorang cewek lain selain dia?!?” tanyaku cepat.
            “ Hmm.. Tidak.. hanya dia dan kaulah yang kutemukan saat ini.. mungkin besok atau nanti.. bisa ditemukan..” katanya pelan.
            Aku menundukkan kepala. Anggi..

***

            Polisi itu menurunkanku di tempat pengungsian bersama Inet yang masih tertidur. Tidak seperti biasanya, wajahnya kusam dan tampak lelah, padahal setiap detik, setiap menit dan setiap jam, wajahnya cerah dan bersemi walaupun dengan keadaan tertidur.
            Aku sangat tidak menyangka akan menjadi seperti ini, aku tidak mengharapkan ini. Aku hanya mengharapkan kalau aku akan senang dan tenang saat di Jepang. Bertemu idolaku, oh.. iya… bagaimana sang Idolaku, Masashi Kishimoto?!? Apakah dia baik-baik saja?!? Bagaimana dengan lanjutan komik Naruto?!? Apakah masih terus berlanjut?!? Atau hanya cerita yang menggantung.
            Tapi.. Jesica… Anggi… kalau aku tidak mengajak kalian kesini, pasti tidak akan terjadi hal seperti ini. Padahal Jesica baru pindah ke Indonesia.
            “ Ng.. lho.. Riery?!?” tiba-tiba Inet terbangun dari kepulasan tidurnya. Wajahnya tampak terkejut melihatku menghapus air mata.
            “ Eh.. Inet?!? Kamu sudah bangun?!?” tanyaku sambil tersenyum pelan.
            “ Hah.. dari dulu luka segini sih.. nggak apa-apa itu..” kata Inet bersemangat. Aku tersenyum, dia tidak berubah.
            “ Eh.. ngomong-ngomong kita ini dimana?!?” tanya Inet sambil menoleh kekanan dan kekiri.
            “ Kita dipengungsian.” Kataku pelan, lalu menoleh padanya. “ sebentar.. aku mau jalan-jalan..” lanjutku.
            “ Tunggu.. Oshita!! Aku ikut..” teriak Inet lalu berjalan mengikutiku.
            Saat kami berjalan, tak terasa kami sudah berada dihadapan hotel Habara. Hotel itu hancur, tidak ada pun yang tersisa, tapi.. hanya ada satu. Jesica..
            Aku menoleh pada beberapa polisi yang hendak memasuki hotel Habara itu. Guncangan bumi dan Tsunami ini memang sudah tidak terasa kembali. Tapi.. kesedihan rakyat disini sangat terasa.
            “ Maaf pak, bapak mau masuk ke dalam hotel ini?!?” tanyaku pelan.
            “ Ya..” jawab bapak itu singkat.
            “ Ng.. begini pak, saya tadi menginap di hotel ini. jadi.. tadi ada teman saya yang tertimpa bangunan di dalam hotel ini, saya ingin melihatnya pak, bolehkah saya masuk?!?” jelasku pada polisi itu.
            “ E… To… baiklah!! Ayo.. silakan, hotel ini sudah tidak berbahaya lagi..” kata pak polisi itu sambil tersenyum.
            “ Terimakasih banyak pak..” kataku sambil tersenyum senang.
            Aku dan Inet masuk ke dalam hotel ini. meja resepsionis ini pun sudah roboh, begitu juga dengan benda disekelilingnya, semua sudah hancur.
            Aku dan Inet menjadi sangat sulit untuk masuk ke dalam hotel ini. beberapa saat, kami harus menyingkirkan beberapa bangunan yang amat berat agar bisa memberikan kami jalan untuk melihat keadaan Jesica.
            Tiba-tiba seorang lelaki memanggilku. “ Shirasawa….” Teriaknya. Aku membalik badan. Ternyata si lelaki yang semalam memberikanku sedikit makanan. Dia berlari ke arahku dan Inet dengan terengah-engah. Dengan wajah gelisah, dia menghampiriku.
            “ Syukurlah kalian selamat.. aku sangat khawatir dengan keadaanya kalian semua.. tapi… maaf.. temanmu yang satu lagi… tlah..” kata lelaki itu pelan.
            Aku menoleh padanya. “ aku belum tau namamu..” lanjutku.
            “ Taiga.. namaku Taiga…” jelasnya padaku.
            Aku menarik nafas, lalu mengeluarkannya dari mulut.
“ tidak apa-apa Taiga.. aku tidak akan pernah menyalahkan semuanya denganmu.. karena itu bukan salahmu..” jelasku.
            Taiga tersenyum lalu menghampiriku. “ kamu mau mencarinya?!?”
            Aku mengangguk. “ aku harus lakukan itu, karena aku adalah temannya..” tambahku.
            “ Aku akan membantumu.” Katanya pelan.
            Aku mengangkat satu persatu bangunan-bangunan hotel yang sudah hancur ini, tapi.. Jesica sama sekali tak tampak. Aku menoleh pada Inet dan Taiga yang juga sedang asyik mencari.
            “ Kalian dapat?!?” tanyaku keras.
            Mereka hanya menggeleng sambil mengangkat bahu.
“ Belum..” sambung mereka hampir bersamaan. Aku mendesah panjang.


            Sudah hampir 2 jam (yang menurutku sudah hampir satu setengah tahun) aku mencari Jesica didalam bangunan hotel yang sudah mulai roboh ini. Sampai akhirnya Inet berteriak.
            “ Aku dapat..” teriaknya keras. Aku mengangkat alis, lalu berlari menghampirinya.
            “ Dimana?!?” tanyaku cepat. Inet menunjukkan sebuah tangan yang dipenuhi luka-luka ditambah beberapa bangunan menimpanya, yang terlihat hanyalah sebuah tangan dengan keaadaan lemas.
            Aku melihat tangan itu dengan tubuh gemetar. Apakah benar.. Jesica?!?
            Taiga berjalan menghampiriku dan Inet, dia mencoba mengangkat tumpukan bangunan yang menimpa Jesica. Setelah beberapa menit, akhirnya tampak seorang perempuan berambut panjang sepinggang terlungkup, yang tidak lain adalah Jesica.
            Aku menghampiri Jesica, lalu membalikkan tubuhnya. Jesica tampak menutup mata dengan beberapa darah keluar dari mulutnya. Kulitnya dingin, seperti mayat. Bunyi detak jantungnya juga sudah tidak ada lagi. Dia sudah…
            Air mataku keluar dari mata merahku yang dari tadi tak bisa berhenti menangis, air mataku bergelinang hampir diseluruh wajahku. “ JESICAAAAAAAAAAAAAA……” teriakku.
            Inet memelukku dengan hangat, sepertinya dia juga sedih melihat Jesica tlah meninggal.
            “ Sebaiknya dia segera kita bawa keluar..” kata Taiga pelan.
            Aku mengangguk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar